BABELAKTUAL – Indonesia merupakan salah satu negara yang paling termineralisasi di dunia, dan sangat tergantung pada industri pertambangan seperti nikel, tembaga, gas alam, emas, dan timah. Letak Indonesia yang berada di jalur The Southeast Asian Tin Belt bersama dengan Myanmar, Thailand, dan Malaysia menjadikannya sebagai negara penghasil timah terbesar kedua di dunia setelah China, dengan kontribusi sebanyak 26% dari total produksi timah global. Sediman tersebar luas di seluruh pulau barat Indonesia termasuk Bangka Belitung, Singkep, dan Karimun Kundur yang dianggap sebagai Kepulauan Timah Indonesia (Aleva,dkk,1978).
Keberadaan sumber daya alam timah yang melimpah, khususnya di Bangka Belitung telah menjadi perhatian sejak dulu, utamanya oleh para penjelajah, pedagang, dan penambang. Eksploitasi sumber daya timah ini telah membawa konsekuensi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang beragam mulai dari pembentukan kota-kota perdagangan yang makmur hingga konflik politik, dan kerusakan lingkungan yang serius.
Dengan meningkatnya permintaan timah ini, muncul tantangan baru berkenaan dengan penemuan dan eksploitasi sumber daya timah yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Oleh karena itu, peran penting timah dalam peradaban manusia dan tantangan masa depan yang kita hadapi perlu menjadi perhatian. Dalam hal ini pemerintah dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memastikan pengelolaan dan perlindungan sumber daya ini bagi generasi mendatang.
Pengelolaan sumber daya timah sejatinya terus mengalami dinamika signifikan selama beberapa dekade terakhir. Dari pengelolaan yang dipegang pemerintah pusat pada orde baru, hingga desentralisasi ke pemerintah daerah pada era reformasi, dan kembali ke pemerintah dengan resentralisasi terbaru. Perubahan signifikan dilakukan pada Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang secara substansial mengurangi kewenangan daerah, namun masih memberikan ruang otonomi yang signifikan.
Kemudian, perubahan lebih lanjut terjadi dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, di mana kewenangan pemerintah kabupaten dihapuskan, namun masih ada sejumlah kewenangan yang diberikan pada pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan. Namun, pada tahun 2020 perubahan perundangan kembali diterbitkan melalui Undang-Undang No. 3 tahun 2020 tentang Mineral dan Batu Baru yang baru.
Dengan konsistensinya, regulasi baru ini mencabut kembali kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur pertambangan di wilayahnya sendiri, dan mengembalikannya kepada pemerintah pusat. Hal ini membuat pemerintah pusat memiliki kendali penuh atas aktivitas pertambangan di Indonesia. Sementara, pemerintah daerah hanya memiliki fungsi pengawasan.
Perubahan kebijakan ini membawa konsekuensi potensial pada beberapa aspek, serta dampak yang kompleks terhadap ekonomi, lingkungan, dan sosial di daerah-daerah pertambangan di Bangka Belitung. Resentralisasi kewenangan pertambangan timah oleh pemerintah pusat telah mengurangi potensi pendapatan daerah, dan menghilangkan kewenangan partisipasi dalam Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) (Julian, 2024).
Padahal, manajemen pertambangan timah oleh pemerintah daerah didasarkan pada prinsip desentralisasi dan teori eksternalitas yang mengakui bahwa daerah yang paling terkena dampak dari aktivitas yang diatur. Proyeksi otonomi daerah tersebut memperkuat kedudukan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, termasuk dalam hal ekonomi menjadi landasan pemberian wewenang pengelolaan timah yang signifikan pada pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota. Selain itu, sentralisasi kewenangan juga berdampak pada postur keuangan daerah dengan masih tingginya ketergantungan pada ekonomi timah di Bangka Belitung (Julian, 2024).
Berbicara industri timah di Bangka Belitung, kepulauan ini menyumbang sekitar 20-30% PAD (Pendapatan Asli Daerah) dari tahun 2010 hingga 2020 dengan sebagian 95% produksi diekspor (Ahmad, 2022). Oleh karena itu, nilai ekonomi dari PAD timah dapat mengalami penurunan akibat perubahan kebijakan oleh pemerintah pusat yang memiliki kewenangan penuh atas pertambangan timah di Bangka Belitung. Sementara, pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) dari sumber daya alam mineral di provinsi yang termasuk kategori pertambangan umum ditetapkan sebesar 20% untuk pemerintah pusat, dan 80% untuk pemerintah daerah. Pembagian ini 16% untuk provinsi, 64% untuk kabupaten/kota yang menghasilkan.