TANJUNGPANDAN, babelaktual.com – Dari hasil rapat ini, saya mencatat bahwa pertama, untuk Menumbing sudah oke dan siap kita garap penghijauannya.
Kedua, untuk Kawasan Pelabuhan Tanjung Ular kalau boleh Bappeda Provinsi akan membantu memetakan area mana yang mau dibangun kawasan industri, butuh lahan di mana, jangan sampai kita bangun pelabuhan tapi tidak produktif seperti arahan Menteri Perhubungan (Menhub) saat berkunjung ke Bangka.
Ketiga, bidang terkait di Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Pemprov. Kep. Babel) diminta untuk membuat peta poligon lahan kritis sehingga ketika ada pihak yang ingin melakukan penanaman atau penghijauan, kita siapkan informasi spasialnya.
Hal-hal tersebut dikemukakan oleh Penjabat (Pj) Gubernur Kep. Babel, Ridwan Djamaluddin saat memimpin _Side Event Meeting_ Pembahasan Program Penghijauan di Kabupaten Bangka Barat di Ruang Pertemuan Swiss Belhotel Tanjung Binga, Belitung pada Selasa (2/8/2022).
“Saya harap rapat kita ada tindak lanjut yang produktif setelah ini, sesegera mungkin kita lakukan aksi,” ujarnya.
Sebelumnya juga telah dilakukan gerakan Hijau Biru Babelku Prov. Kep. Babel yang intinya gerakan ini menjadi gerakan masyarakat, baik yang terkoordinir maupun yang tidak.
“Semangat menanam, semua pihak banyak menanam, semoga _sustainable._ Kedua, bisa produktif yakni ada dampak ekonomi yang tumbuh di sana, intinya kita mau meneruskan pelestarian lingkungan di Babel ini. Hijau di darat, biru di laut seperti _mangrove_ pesisir. Bangka Barat yang warganya cukup aktif berkelompok di sana dan siang ini akan kita diskusikan apa yang _real_ akan dilajukan di Bangka Barat,” jelasnya.
Hendro Prastowo, Sekretaris APHI mengatakan pihaknya mendapat tugas bagaimana mendukung visi misi gubernur dengan melakukan penghijauan. Namun, ada beberapa tantangan diantaranya, sebagian besar areal kerja perusahaan terdapat penggarapan dan klaim masyarakat, sebagian masyarakat tidak tahu batas areal kerja perusahaan, perusahaan tidak dapat melakukan kegiatan operasional penanaman dan lain-lain, tetapi kewajiban dan risiko Karhutla tetap menjadi tanggung jawab perusahaan, komunikasi terkendala adanya ketakutan masyarakat yang tidak diperbolehkan melakukan kegiatan di dalam areal kerja perusahaan, dan masyarakat masih mengalami trauma masa lalu pada penegakan hukum konflik lahan dan lain-lain.